Budaya & Pariwisata
Membaca Magetan Lewat Sengkalan.
Published
2 bulan agoon
By
rasinewsBulan ini, Oktober 2024, dapat dipastikan Magetan riuh. Bukan keriuhan kampanye pilkada. Tapi keriuhan rangkaian panjang acara peringatan Hari Jadi. Orang Magetan pasti tahu, tanggal 12 Oktober adalah tanggal sakral: tanggal Hari Jadi kabupatennya. Juga pasti sudah tahu, tahun ini Hari Jadi ke-349. Artinya, kabupaten Magetan berusia hampir 3,5 abad. Artinya lagi, kadipaten (kabupaten) Magetan berdiri pada tahun 1675 Masehi.
Kiranya pembaca juga pantas tahu bahwa titimangsa 12 Oktober 1675 Masehi itu sama dengan 22 Rajab 1086 Hijriyah. Merujuk kalender Sultan Agung, maka hari itu juga bertitimangsa 22 Rejeb 1598 Jawa. Lebih terperincinya versi wong Jawa, Magetan yang diyakini berdiri pada tanggal 12 Oktober 1675 itu sama artinya dengan berdiri pada hari Setu Pahing, sasi Rejeb, wuku Langkir.
Sebagai wilayah di Jawa yang berkategori agraris tentu sah saja jika sejarah Hari Jadi Magetan dilihat menggunakan sudut pandang kalender musim. Jika merujuk pranata mangsa (kalender agraris Jawa), hari berdirinya Magetan dapat diperdebatkan. Sesuai tanggalnya, 12 Oktober, dapat dibayangkan dulu Magetan diproklamirkan pada hari terakhir mangsa kapat. Itu artinya tepat hari terakhir musim kemarau. Namun sesuai harinya, Setu Pahing, orang Jawa agraris akan pasti memahami bahwa Magetan diproklamirkan pada hari kedua mangsa kalima. Itu artinya sudah masuk awal musim penghujan. Jadi, pembaca boleh menduga dulu proklamasi Magetan berlangsung di bawah suhu panas menyengat, sumuk seperti sekarang. Tapi boleh juga membayangkan sebaliknya, justeru di bawah rintik gerimis yang memantik suasana romantik.
Lain hal lagi, jika pembaca adalah peminat sejarah politik, mungkin ada baiknya membayangkan sumuke suasana politik saat ngadege Magetan. Tahun 1675 mayoritas wilayah di Jawa masih berada di bawah kekuasaan Nagari Kasultanan Mataram. Tahun sekian penguasanya adalah Amangkurat I. Konon gelarnya Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Pada masanya pusat pemerintahan di Pleret (kini termasuk wilayah administratif kabupaten Bantul DIY). Kekuasaannya berakhir pada tahun 1677. Artinya hanya sampai dua tahun saja setelah Magetan –yang termasuk jajahane– berdiri.
Lantas bagaimana sumuke suhu politik saat Magetan berdiri terkait kekuasaan Mataram kala itu? Tahun 1674 –setahun sebelum Magetan berdiri– adalah masa genting bagi Mataram. Tahun itu Trunajaya, tokoh Madura, memulai pemberontakannya terhadap Amangkurat I dan VOC. Kubunya didukung tentara bayaran asal Bugis di bawah pimpinan seorang mantan laksamana laut Gowa bernama Karaeng Galesong. Naskah-naskah kethoprak berlakon Trunajaya menuliskan namanya Kraeng Galengsong.
Dapat dibayangkan, Magetan didirikan di tengah masa perang Timur melawan Barat: perangnya kubu Madura-Bugis melawan kubu Mataram-VOC. Magetan berada persis di tengah-tengahnya. Entah aktif atau pasif, Magetan pasti terpaksa harus punya andil dalam situasi menegangkan kala itu. Apalagi saat pasukan Trunajaya harus mundur ke Kediri, Porong hingga berakhir di Malang. Mustahil rasanya saat itu bila Magetan tak terdampak dan tak berperan. Setidaknya oleh karena letak geografisnya yang mau tidak mau menjadi jalur pelarian pun pengejaran. Jadi dapat dibayangkan betapa tak indahnya masa-masa awal berdirinya Magetan. Hampir pasti gegar oleh benturan konflik politik. Persis ilustrasi ungkapan lawas Jawa: gajah tumbuk, kancil mati ing tengah.
Sungguh Magetan yang telah berusia tua ini, niscaya menyimpan banyak kenangan pahit-pedih pun manis-gembira sejarah Jawa. Itu baru kenangan sejak 1675. Alangkah banyaknya bahan kisahan kita warga Magetan kepada anak, cucu dan canggah bila kita misalnya percaya juga bahwa Magetan telah ramai sebagai daerah hunian terpilih sejak abad XI sesuai dongengan dalam serat Cemporet tulisan Ranggawarsita, pujangga Kasunanan Surakarta, bertitimangsa abad XVIII. Disebutkan bahwa saudara tua Sri Mahapunggung, raja Purwacarita, bernama Resi Sri Madewa mendirikan pusat pendidikan agama di Pamagetan, di lereng sisi timur gunung Mahendra (kini bernama Lawu).
Belum lagi bila kita mundur lagi ke belakang, merujuk temuan bukti arkeologi yang mampu mengasumsikan Magetan sudah makmur sejahtera sebagai hunian terpilih sejak abad VI.
Alangkah menariknya membaca Magetan dari masa ke masa hingga kini. Namun saya sangat terganggu dengan satu kelaziman setiap ikut merayakan Hari Jadi Magetan. Selalu saja muncul slogan berbahasa Jawa berbunyi Manunggaling Rasa Suka Ambangun. Slogan itu berarti baik: Menyatunya Rasa Bahagia Membangun (Magetan). Slogan itu bermakna bagus: menyarankan kekompakan dan kegembiraan dalam berperan serta memajukan Magetan. Slogan itu memuat doa mulia: agar pemerintah dan rakyat Magetan senantiasa dapat merawat persatuan dan menciptakan keriangan agar lancar menyejahterakan Magetan.
Tapi slogan itu harus diubah. Tidak bisa tidak. Karena slogan itu lahir dari maksud membuat sangkala tahun berdirinya Magetan. Slogan itu jelas dimaksudkan sebagai sangkala angka tahun Masehi berdirinya Magetan. Artinya, slogan Manunggaling Rasa Suka Ambangun disengaja sebagai surya sangkala (lambang tahun) 1675 M. Tapi itu surya sangkala yang salah kedaden.
Saya yakin surya sangkala Manunggaling Rasa Suka Ambangun itu tidak dipungut dari referensi bukti sejarah tertulis berupa prasasti lampau, serat (kitab) manuskrip sejarah dan/atau kajian filologis.
Saya yakin slogan Manunggaling Rasa Suka Ambangun itu dibuat oleh orang yang pintar berbahasa Jawa, tahu tentang sengkalan (surya sangkala dan candra sengkala). Tapi dia pasti tidak pernah belajar menulis sengkalan. Dia jelas tidak paham rumus menulis sengkalan.
Memang dalam rumus sengkalan, kata manunggal artinya 1, kata rasa artinya 6, kata suka artinya 7, kata mbangun artinya 5. Memang slogan empat kata itu sudah memuat angka tahun berdirinya Magetan: 1, 6, 7 dan 5. Namun susunan sengkalan bukan seperti itu. Rumus sengkalan tidak begitu.
Sebagai pembanding, cermatilah sengkalan tahun penanda runtuhnya Majapahit ini: Sirna Ilang Kertaning Bumi. Sirna artinya 0, Ilang artinya 0, Kerta artinya 5, Bumi artinya 1. Tersusunlah angka 0051. Mesti dibalik agar menjadi angka tahun 1500 M. Artinya, sengkalan itu susunan kata-katanya berkebalikan dengan susunan angka-angka tahunnya. Contohnya lagi, sengkalan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta berbunyi Dwi Naga Rasa Tunggal yang versi lebih rumit lagi dalam bentuk gambar dua naga yang ekornya saling membelit persis ukiran hiasan tiang gantungan gong Jawa itu. Dwi artinya 2, Naga artinya 8, Rasa artinya 6, Tunggal artinya 1. Tersusun angka 2861. Maksudnya Kasultanan Ngayogyakarta berdiri pada tahun 1682 Jawa (1756 Masehi).
Jadi, semestinya susunan kata sengkalan tahun berdirinya Magetan itu Ambangun Suka Rasa Manunggal. Bukan malah Manunggaling Rasa Suka Ambangun. Karena kalau dibiarkan salah begitu, suatu saat ketika anak-anak Magetan wis pinter maca sengkalan, mereka akan mengernyitkan dahi: kok Magetan berdiri tahun 5761? Berarti sekarang Magetan masih ndheprok, belum berdiri. Solusinya tentu dibuatkan susunan kata baru yang tidak hanya bagus artinya. Harus juga benar sesuai rumusnya. Namun, meskipun saya bisa menawarkan opsi, tentu lancang kalau saya cawe-cawe ndandani. Toh, apa pentingnya methenthengi sengkalan itu hari ini? Siapa peduli?
Mungkin dengan kesalahan sengkalan Magetan ini, kita menjadi sadar sedang dijiwit Tuhan bahwa Magetan memang masih ndheprok, belum mampu ngadeg jejeg. Untuk itu entah masih harus menunggu pilkada berapa kali lagi.
Magetan, 11 Oktober 2024
Oleh : Sugito Sosrosasmito
VISUAL KLIK
263 total views, 3 views today
You may like
Resepsi HUT Magetan ke 349, Pemkab Magetan Gelar Wayang Kulit dengan Lakon Puntadewa Winisuda
Sujatno – Ida Suport Peserta Napak Tilas Dengan Makanan dan Minuman.
“Ngupatan” Tradisi Napak Tilas Kembalinya Pusat Pemerintahan di Magetan.
Membaca Makna Sangkala Manunggaling Rasa Suka Ambangun Hari Lahir Kabupaten Magetan, Ada Yang Keliru?
Ultah ke 349 Tahun, Pj Bupati : Magetan Layak Mendapat Tambahan Anggaran.
Menguak Cerita Kelam Pemberontakan PKI dari Uang Terbitan Pemkab Magetan Tahun 1948.