Budaya & Pariwisata
Mengenal Batik Lesoeng dari Kampong Batik di Ponorogo, Nama Jalan Pakai Nama Motif batik.
Published
2 bulan agoon
By
rasinewsPOOROGO, RASI FM – Di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur ada kampung yang memiliki nama jalan dengan nama motif batik, seperti Jalan Kawung, Jalan Barong, Jalan Parang Tritis, Jalan Parang Kusumo, Jalan Parang Menang, Jalan Parang Centung, Jalan Cinde Wilis, Jalan Rumpuk, Jalan Semen Remeng berada di Kelurahan Kertosari, Kecamatan Babadan, Kelurahan Cokromenggalan, Kecamatan Ponorogo Kota dan Kelurahan Patihan Wetan, Kecamatan Babadan Kabupaten Ponorogo.
Budi Santoso (69) warga Jl Kawung, Kelurahan Kertosari, kecamatan Babadan yang merupakan anak salah satu pemilik pengrajin batik di Ponorogo mengatakan, usaha batik di Ponorogo sempat memiliki masa kejayaan di tahun 1961. Perusahaan batik milik keluarganya diperkirakan berdiri pada tahun 1930an, awal mulai maraknya pengusaha batik di Ponorogo. “Ada sekitar 12 rumah batik pada saat itu, salah satunya adalah rumah batik milik keluarga kami,” ujanrya ditemui dirumahnya Sabtu (5/9/2024).
Di Kelurahan Kertosari dan Kelurahan Cokromenggalan yang berada di sebelah Timur Pasar Besar Ponorogo dihasilkan sejumlah batik dari berbagai motif. Ramainya permintaan batik membuat kawasan di Timur pasar Besar menjadi kawasan elit karena sejumlah rumah batik berdiri megah diantara rumah warga lainnya. “Rumah di kawasan tersebut besar-besar karena punya usaha batik. Dulu banyak sekali motif batik yang dihasilkan seperti motif sidoluhur, motif sidomulyo, motif sidomukti, motif parang, motif sekar jagad, motif semen rama dan lainnya,” imbuh Budi.
Banyak pesanan, batik Ponorogo berjaya di tahun 1970.
Budi mengaku masa puncak kejayaan batik di Kabupaten Ponorogo terjadi pada tahun 1960 an, dimana pada waktu itu pesanan batik dari berbagai daerah cukup banyak dan pengrajin menghasilkan berbagai motif batik. Sayangnya memasuki tahun 1970 an pesanan batik dari berbagai daerah mulai sepi dan pengrajin batik hanya membuat motif batik sesuai pesanan saja. “Tahun 1975 saat usia saya 15 tahun, keluarga kami terpaksa menutup rumah batik milik kami karena minimnya permintaan kain batik kala itu,” ucapnya.
Kejayaan rumah batik di Kabupaten Ponorogo saat ini tinggal menyisakan cerita dari sejumlah jalan yang diberi nama dengan nama motif batik. Sejumlah peralatan yang dulu digunakan untuk memproduksi batik juga sudah banyak yang dijual seperti canting dan peralatan lain yang terbuat dari tembaga. “Peralatan dari tembaga sebagian besar sudah dijual karena terbuat dari tembaga dan harganya cukup mahal,” kata Buci.
Batik Lesoeng yang bertahan.
Salah satu rumah batik yang masih bertahan dan masih membuat kain batik saat ini adalah rumah Batik Lesoeng dengan merek Batik Lesoeng milik Christine Hery Purnamawati yang berada di Kelurahan Mangkujayan, Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo. Di rumah batik yang masih mempertahankan pembuatan batik secara tradisional dengan canting atau batik tulis, pembuatan batik tulis dilakukan oleh 4 karyawan. Christine Hery Purnamawati mengatakan, mendirikan rumah Batik Lesoeng adalah upaya untuk mempertahankan dan melesatarikan jenis dan motif batik khas Ponorogo. “Saya ingin melestarikan motif batik Ponorogo kuno yang saat ini semakin hilang dari pasaran,” katanya.
Untuk menyelesaikan satu motif batik yang berukuran 1,5 x 3 meter dibutuhkan waktu 1 hingga 2 bulan, tergantung dari kerumitan motif batik yang membutuhkan ketelitian tinggi. Dari proses melukis batik, kemudian menutup motif dengan lilin, proses pewarnaan yang bisa dilakukan beberapa kali sesuai dengan motif batik, sangat membutuhkan ketelitian tinggi agar bisa menghasilkan kain batik yang berkualitas.
Rumah Batik Lesoeng yang didirikan sejak tahun 2008 saat ini berhasil mendapatkan kepercayaan dari para pecinta batik. Produk batik dari rumah Batik Lesoeng bahkan telah memikat pecinta batik dari manca negara. Harga batik tulis di rumah batik Lesoeng bervasiasi mulai dari Rp 100 ribu hingga harga Rp 15 juta per lembar sesuai dengan kerumitan motif batik dan ukuran kain. “Untuk harga menyesuaikan dengan tingkat kerumitan motif dan ukuran kain. Penjualannya sudah ekspor ke beberapa negara, seperti Singapura dan Turki,” ujarnya.
Christine berharap pemerintah daerah memberikan dukungan kepada para pengrajin batik yang saat masih bertahan sehingga bisa melestarikan motif motif batik khas Ponorogo. Dia yakin bahwa eksistensi rumah batik khas dari Ponorogo masih memiliki pangsa pasar dan penggemar batik, sehingga bisa mengembalikan kejayaan kerajinan batik yang menemui kejayaan di era tahun 1970 an. “Harapannya industri batik di Ponorogo bisa kembali berjaya seperti di tahun 1970-an. Batik tulis Ponorogo masih memiliki tempat di hati konsumen baik lokal maupun mancanegara,” pungkasnya.(DmS)
216 total views, 9 views today